Jakarta, LEXTON Indonesia — Ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga, tepat sekali untuk menggambarkan nasib rakyat Indonesi saat ini. Di tengah tekanan ekonomi akibat pandemic virus corona, seperti tingginya tingkat PHK dan pekerja dirumahkan, termasuk pekerja yang kehilangan THR, atau potong gaji, Presiden Jokowi malah menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan yang sebelumnya dibatalkan Mahkamah Agung.
Lewat Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan, Presiden Jokowi memutuskan menaikkan kembali iuran BPJS. Tak tanggung-tanggung, kenaikannya hampir 100 persen mulai Juli 2020 mendatang. Kenaikan khususnya dirasakan peserta mandiri kelas I dan II.
Kenaikan tersebut tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid tersebut ditandatangani Jokowi 5 Mei 2020 lalu.
Mengutip Perpres teranyar, iuran peserta mandiri kelas I naik 87,5 persen dari Rp80 ribu menjadi Rp150 ribu. Angka ini cuma lebih rendah Rp10 ribu dari kenaikan pada Perpres terdahulunya. Kemudian, kelas II naik 96,07 persen dari Rp51 ribu menjadi Rp100 ribu, dan kelas III naik 37,25 persen dari Rp25.500 menjadi Rp35 ribu.
Dalam aturan itu, Jokowi juga resmi membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan bagi peserta mandiri yang berlaku mulai Januari 2020. Dengan demikian, maka iuran peserta mandiri kelas III yang naik menjadi Rp42 ribu kembali menjadi Rp25.500, kelas II dari Rp110 ribu kembali menjadi Rp51 ribu, dan kelas I dari Rp160 ribu menjadi Rp80 ribu.
Namun, tarif awal itu hanya berlaku pada April, Mei, dan Juni untuk peserta mandiri kelas I dan II. Selanjutnya, peserta mandiri kelas I dan II akan membayar menggunakan tarif baru di Juli 2020. Lalu, mandiri kelas III ikut naik di tahun depan.
Rakyat Makin Ambyar
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Demokrat Irwan menyatakan langkah Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan telah membuat rakyat ambyar.
Menurutnya, penerbitan regulasi itu telah mengabaikan hak konstitusional rakyat yang tengah terjepit akibat pendapatan menurun di tengah pandemi virus corona (Covid-19). Aturan itu berdampak pada iuran kepesertaan BPJS kesehatan.
“Rakyat jadi ambyar, kalau sikap pemerintah begini,” kata Irwan kepada wartawan, Kamis (14/5).
Irwan menyatakan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini berpotensi membuat rakyat tidak mampu membayar premi hingga mengabaikan pemberian jaminan kesehatan.
Menurutnya, penerbitan regulasi di tengah ketidakmampuan pemerintah menangani Covid-19 semakin menambah penderitaan rakyat kecil.
“Pemerintah gagal memberikan layanan kesehatan bagi rakyat Indonesia,” tambahnya.
Irwan juga menyatakan bahwa sejumlah langkah pemerintah di kala pandemi virus corona seperti ini justru kontradiktif dan cenderung lebih menyelamatkan kekuasaan.
Senada, anggota Komisi IX dari Fraksi PKS Netty Prasetyani menyatakan bahwa Perpres Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan membuat rakyat semakin sengsara dan ambyar.
Menurutnya, pemerintah tidak memiliki kepekaan pada suasana kebatinan dan ekonomi masyarakat yang terpukul akibat pandemi virus corona.
Dia menyatakan
bahwa pemerintah memberikan kado buruk bagi masyarakat jelang hari raya Idul
Fitri 1441 H. Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus dalam penanganan
kesehatan terkait virus corona dengan menggunakan anggaran kesehatan yang sudah
disiapkan.
“Jangan bikin pusing rakyat dengan kebijakan yang kontradiktif dan
membingungkan,” ungkap Netty.
Segelumnya, Jokowi
menaikkan iuran BPJS Kesehatan nyaris dua kali lipat dari posisi saat ini.
Keputusan ini dilakukan tidak lama setelah MA membatalkan kenaikan iuran BPJS
Kesehatan sebesar 100 persen pada awal 2020 lalu.
Kenaikan tersebut tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020
tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang
Jaminan Kesehatan. Beleid tersebut ditandatangani Jokowi 5 Mei lalu.
Sembunyi-Sembunyi
Komunitas Peduli BPJS Kesehatan menyayangkan terbitnya Perpres Nomor 64 Tahun 2020 terkait perubahan Perpres 82/2018 soal Jaminan Kesehatan.
Perwakilan Komunitas Peduli BPJS Kesehatan Johan Imanuel mengungkap kenaikan iuran tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tak hanya itu, kenaikan dilakukan tanpa dasar perhitungan jelas.
“Menimbulkan pertanyaan karena sampai saat ini peserta maupun publik tidak diberikan transparansi dasar perhitungan kenaikan tarif yang dimaksud dalam Perpres 64/2020. Apabila tidak transparan menyangkut persoalan publik maka akan menjadi tarik ulur sehingga menjadi perdebatan di publik,” ujar Johan dalam keterangan resmi, Rabu (13/5).
Johan menjelaskan sebenarnya Putusan MA No 7P/HUM/2020 yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen yang dilakukan Jokowi awal tahun lalu dapat memberikan solusi atas iuran BPJS Kesehatan agar lebih baik.
Dalam kesempatan yang sama, perwakilan lain Komunitas BPJS Kesehatan Ika Arini Batubara menyebut ada beberapa cara yang bisa dilakukan masyarakat untuk mempermasalahkan keputusan Jokowi itu.
Pertama, tetap menjadi peserta sesuai kelas yang ada saat ini dengan melakukan pembayaran sesuai tagihan untuk menghindari denda yang paling banyak Rp30 juta sebagaimana Pasal 42 ayat 6a Perpres 64/2020.
Kedua, peserta tetap dimungkinkan turun kelas misalkan dari kelas 1 ke 2 atau kelas 1 dan 2 ke kelas 3.
Ketiga, peserta yang keberatan atas terbitnya Perpres 64 Tahun 2020 khususnya Peserta PBPU dan BP memiliki hak konstitusional mengajukan uji materiil ke Mahkamah Agung terhadap Perpres 64/2020 apabila ditemukan pertentangan dengan peraturan perundang-undangan di tingkat atas dari Perpres tersebut.
Di sisi lain, perwakilan komunitas lainnya Indra Rusmi menyarankan agar pemerintah meninjau ulang Perpres 64/2020 dari segi kemanfaatan kepada masyarakat.
“Pasalnya, UU BPJS menyatakan BPJS Kesehatan harus mengembangkan aset dana jaminan sosial dan aset BPJS untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dan memberikan manfaat kepada seluruh peserta (Pasal 13 UU BPJS),” paparnya.
Indra menegaskan sebagai negara hukum sudah sepatutnya
pemerintah mematuhi putusan peradilan dan hukum yang tertuang dalam Putusan MA
no 7/P/HUM/2020.
“Bagaimana bisa dalam pelaksanaannya dibelokkan kembali seolah tidak pro
rakyat? Kita ketahui bersama masa pandemi ini membuat sebagian besar pekerja di
PHK. Kemudian ditekan pula adanya kenaikan iuran BPJS Kesehatan kembali disaat
pandemi belum berakhir,” tegasnya.
Indra menambahkan
kenaikan ini memungkinkan segera diajukan lagi Judicial Review ke MA atas
Perpres no.64/2020.
“Yang diharapkan adalah konsistensi putusan MA oleh pemerintah yang akan
meningkatkan kepercayaan publik/ rakyat terhadap peradilan di Indonesia dan
mengurangi tingginya arus perkara yang masuk ke MA,” pungkas Indra. (cnn
dan berbagai sumber)